Jumat, 22 Juni 2012

Karakteristik Islam



Islam adalah sistem  kepercayaan yang terbentuk dari kesatuan yang kohesif antara doktrin, hukum dan moral. Dalam petunjukNya kepada manusia, Allah menjelaskan kebenaran, hukum dan disiplin moral. Kebenaran menjawab pertanyaan-pertanyaan akal. Hukum memandu dan mengarahkan kemauan-kemauan. Moral menyalurkan kecendrungan-kecendrungan sanubari. Ketiganya tercampur dan tidak dapat dipisahkan serta saling menguatkan.

Kepercayaan terhadap kebenaran yang “didoktrinkan” dalam rukun iman terungkap dalam janji setia dua kalimat syahadat pengakuan keislaman seorang muslim. Secara ringkas muslim mengakuai bahwa Tuhan harus hanya satu dan dunia ini akan berakhir. Pengetahuan ini telah diajarkan dari generasi ke generasi oleh para utusanNya. Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan sederhana mengajarkan sifat-sifat Allah, (bukan hakikat Allah), membenarkan nabi-nabi terdahulu beserta kitab-kitab mereka, alam ghaib serta hari akhir. Dalam masalah ini tidak ada kompromi, meskipun tersedia banyak rasionalisasi bagi pertanyaan-pertanyaan manusia.

Tetapi ketika menjelaskan tentang hukum yang harus dipatuhi manusia, Al Qur’an dan Sunnah Nabi penuh dengan “rasa iba” terhadap keterbatasan dan ketidak berdayaan manusia. Manusia yang diminta untuk mempercayai doktrin rukun Iman, diberi kemudahan untuk menjalankan apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang yang percaya (mukmin). Hukum-hukum fiqh dalam khazanahnya yang sangat lengkap dan menyeluruh penuh dengan variasi dan toleransi. Itu pun ditambahi janji pahala yang tak terhingga, meskipun ada ancaman hukuman.

Di samping kedua hal itu, dalam prakteknya, Nabi Muhammad saw nampaknya telah menancapkan pengaruhnya ke dalam hati dan masyarakat Quraisy juga dunia, justru dengan kekuatan moralnya (akhlaqnya). Beliau pernah berkata bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Jika dibandingkan dengan perkataan Aisyah ra, bahwa akhlaq beliau adalah Al Qur’an, maka lengkaplah penjelasan tentang kesatuan doktrin (iman), hukum (syari’at) dan moral (akhlaq).

Pengantar sejarah ( tarikh ) Islam


A. Pengertian-pengertian

                Secara bahasa, tarikh berasal dari arrikh-yuarrikhu-taarikha yang berarti mengetahui kejadian dari kejadian dan penulisan dan penyusunan peristiwa-peristiwa.  Sedangkan secara istilah tarikh berarti  peristiwa-peristiwa dan kejadian yang dilalui oleh suatu bangsa. Jika tarikh disambungkan dengan Islam maka ia berarti peristiwa-peristiwa dan kejadian yang dilalui oleh ummat Islam.

                Dari pengertian-pengertian di atas berarti tarikh Islam dimulai sejak Islam dida’wahkan oleh Nabi Muhammad saw. Walaupun terkadang sebagian penulis memasukkan pula fase hidup Rasulullah sejak lahir hingga menjelang kenabiannya sebagai bagian dari tarikh Islam pula. Dengan sendirinya Tarikh Islam mencakup pula Sirah Nabawiyah. Namun demikian biasanya penjelasan tentang Tarikh dan Sirah Nabi terpisah. Karena pada sirah nabi, Rasulullah senantiasa mendapat bimbingan Allah swt. Maka untuk membedakan antara keduanya, pembahasan Tarikh Islam dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar Siddiq. Sepeninggal Rasulullah, sejarah ummat Islam dicatat sejauh mana keterikatan mereka dengan Al Qur’an dan petunjuk Rasulullah.

                Beberapa istilah sebagai pembanding pengertian tarikh misalnya Sunnah yaitu segala perkataan, perbuatan dan isyarat Rasulullah yang bernilai syari’at bagi ummat Islam. Juga Sirah yaitu perkataan, perbuatan Rasulullah tetapi tidak semua bernilai syari’at karena ada yang berupa tabi’at, kecenderungan, hobi atau kesenangan dan lain-lain. Ada pula yang sifatnya khusus bagi Rasulullah seperti, puasa wishal, menikahi 9 wanita dalam satu waktu, keluarganya tidak boleh menerima bagian zakat dan shodaqoh.

B. Urgensi Mempelajari Tarikh Islam

                Beberapa ungkapan mungkin dapat menjelaskan hakikat ini. Sejarah adalah ingatan suatu bangsa. Maka jika suatu bangsa tidak ingat masa lalunya, ia ibarat orang gila yang tidak punya ingatan apa-apa. Ungkapan lain mengatakan “Generasi akhir ummat ini tidak akan sukses kecuali bercermin pada generasi awalnya”.  Syaikh Abu Hasan Ali An Nadawi mengatakan “suatu bangsa yang tidak mengetahui masa lalunya, masa depannya akan suram”.

C. Sasaran Belajar Tarikh

                Mempelajari sejarah para pendahulu adalah untuk i’tibar (mengambil pelajaran) sebagaimana diungkapkan pada surat Yusuf ayat 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

                Dengan memahami kejadian-kejadian yang telah berlalu generasi masa kini dapat memilih yang positif untuk dimanfaatkan dan meninggalkan hal-hal yang negative.

Daftar Pustaka

Al Mubarakfury, Syafiyur Rahman, Syaikh, Sirah Nabawiyah, Robbani Press, Jakarta, 1998.
Al Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan,Dr,  Sirah Nabawiyah, Robbani Press, Jakarta,1999.
Hamka, Prof. Dr,  Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura,1997.
Rais, Amien, Cakrawala Islam, Mizan, 1987
Sou’yb, Joesoef,  Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.