Islam
adalah sistem kepercayaan yang terbentuk
dari kesatuan yang kohesif antara doktrin, hukum dan moral. Dalam petunjukNya
kepada manusia, Allah menjelaskan kebenaran, hukum dan disiplin moral.
Kebenaran menjawab pertanyaan-pertanyaan akal. Hukum memandu dan mengarahkan
kemauan-kemauan. Moral menyalurkan kecendrungan-kecendrungan sanubari.
Ketiganya tercampur dan tidak dapat dipisahkan serta saling menguatkan.
Kepercayaan
terhadap kebenaran yang “didoktrinkan” dalam rukun iman terungkap dalam janji
setia dua kalimat syahadat pengakuan keislaman seorang muslim. Secara ringkas
muslim mengakuai bahwa Tuhan harus hanya satu dan dunia ini akan berakhir.
Pengetahuan ini telah diajarkan dari generasi ke generasi oleh para utusanNya.
Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan sederhana mengajarkan sifat-sifat Allah,
(bukan hakikat Allah), membenarkan nabi-nabi terdahulu beserta kitab-kitab
mereka, alam ghaib serta hari akhir. Dalam masalah ini tidak ada kompromi,
meskipun tersedia banyak rasionalisasi bagi pertanyaan-pertanyaan manusia.
Tetapi
ketika menjelaskan tentang hukum yang harus dipatuhi manusia, Al Qur’an dan
Sunnah Nabi penuh dengan “rasa iba” terhadap keterbatasan dan ketidak berdayaan
manusia. Manusia yang diminta untuk mempercayai doktrin rukun Iman, diberi
kemudahan untuk menjalankan apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang
yang percaya (mukmin). Hukum-hukum fiqh dalam khazanahnya yang sangat lengkap
dan menyeluruh penuh dengan variasi dan toleransi. Itu pun ditambahi janji
pahala yang tak terhingga, meskipun ada ancaman hukuman.
Di
samping kedua hal itu, dalam prakteknya, Nabi Muhammad saw nampaknya telah
menancapkan pengaruhnya ke dalam hati dan masyarakat Quraisy juga dunia, justru
dengan kekuatan moralnya (akhlaqnya). Beliau pernah berkata bahwa beliau diutus
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Jika dibandingkan dengan perkataan
Aisyah ra, bahwa akhlaq beliau adalah Al Qur’an, maka lengkaplah penjelasan
tentang kesatuan doktrin (iman), hukum (syari’at) dan moral (akhlaq).